Purnama mekar (wulan ndadari) pada Rabu atau Kamis malam seminggu yang lalu. Itulah saatnya bercinta di bawah bulan. Ketika purnama lingsir, langit malam berselimut awan hujan, Sabtu 15 November 2008, Pusat Kesenian Jakarta menggelar parade penyair. Masih dalam rangka ulang tahun Taman Ismail Marzuki yang ke-40, musikalisasi dan pembacaan puisi bergema di Graha Bhakti Budaya. Ada 18 penyair dan cerpenis Jabotabek tampil membacakan karya.
Mereka adalah: (1) Irman Syah (2) Leon Agusta (3) Agus R. Sarjono (4) Fatin Hamama (5) Hamsad Rangkuti (6) Slamet Sukirnanto (7) Diah Hadaning (8) Kurnia Effendi—eh, itu saya (9) Jamal D. Rahman (10) Endang Supriyadi (11) Rukmi Wisnu Wardani (12) Sides Sudyarto (13) Abdul Hadi WM (14) Asrizal Nur (15) Remy Novaris DM (16) Amin Kamil (17) Remy Sylado. Satu lagi tak hadir karena sedang dikejar deadline mingguan Republika: Ahmadun Yosi Herfanda
.Remy Novaris DM merangkap sebagai MC, karena Jose Rizal Manua yang semula akan memandu acara, pada Sabtu itu mesti berangkat ke Swiss. Ia dan rombongan anak-anak teater Tanah Air diundang oleh PBB untuk mementaskan lakon Peace karya Putu Wijaya pada Hari Perdamaian. Sebelumnya Teater Tanah Air telah memenangi kompetisi internasional di Rusia.
.Remy Novaris DM merangkap sebagai MC, karena Jose Rizal Manua yang semula akan memandu acara, pada Sabtu itu mesti berangkat ke Swiss. Ia dan rombongan anak-anak teater Tanah Air diundang oleh PBB untuk mementaskan lakon Peace karya Putu Wijaya pada Hari Perdamaian. Sebelumnya Teater Tanah Air telah memenangi kompetisi internasional di Rusia.
Dimulai dari Irman Syah, Leon Agusta, dan seterusnya, sesuai urutan penyair yang kutulis di atas, masing-masing membaca 2-3 puisi, kecuali Pak Hamsad. Ia membaca cerpen tentang “mayat seorang nenek dalam rumah”. Musikalisasi puisi “Deavis Sanggar Matahari” tampil dua kali, sebagai pembuka dan di tengah parade puisi setelah penampilan Jamal D. Rahman.
Di pengujung acara, Remy Sylado menyuguhkan pembacaan yang menarik. Dua buah puisi panjang bergaya balada. Ternyata juwa mbeling Remy belum sirna juga. Puisi pertama menceritakan tentang Dul Sapi (plesetan dari Abdul Hadi WM) yang dihukum dari lantaran mencuri sapi. Dalam puisi itu, Remy memasukkan dua tokoh seniman lain: Cak Kandar (pelukis bulu Surabaya) dan Sapardi Djoko Damono (penyair), tentu secara parodi. Dengan dua puisinya yang panjang itu (yang terakhir menggunakan penari latar), Remy memukau penonton. Acara berakhir menjelang pukul 11. Membuat badanku terasa sedikit berantakan. Keinginanku hanya satu: lekas pulang
Di pengujung acara, Remy Sylado menyuguhkan pembacaan yang menarik. Dua buah puisi panjang bergaya balada. Ternyata juwa mbeling Remy belum sirna juga. Puisi pertama menceritakan tentang Dul Sapi (plesetan dari Abdul Hadi WM) yang dihukum dari lantaran mencuri sapi. Dalam puisi itu, Remy memasukkan dua tokoh seniman lain: Cak Kandar (pelukis bulu Surabaya) dan Sapardi Djoko Damono (penyair), tentu secara parodi. Dengan dua puisinya yang panjang itu (yang terakhir menggunakan penari latar), Remy memukau penonton. Acara berakhir menjelang pukul 11. Membuat badanku terasa sedikit berantakan. Keinginanku hanya satu: lekas pulang
Di tengah acara, aku sempat memotret Rukmi Wisnu Wardani secara khusus untuk profil Parle. Setidaknya, mata kameraku sempat mengunyah wajah cantik penyair yang baru mengenal sastra sejak tahun 2000-an.
Begitulah, Sabtuku berakhir. Sembari jalan pulang kuantar Diah Hadaning dan Eva Muliati sampai terminal Kampung Melayu. Selanjutnya aku menyusuri Casablanca ke arah timur. Seandainya aku naik Jolly Jumper, kuda Lucky Luke, apa nyanyian yang kudengar dari kuda kesayangan itu? Yang jelas, perjalanan bulan mendekati akhir.
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI