One World, One’s Nation, The Human Nation (Satu Dunia, Satu Bangsa, Bangsa Manusia), sebuah impian terindah bagi makhluk yang bernama manusia, untuk dapat hidup dalam satu dunia, satu kebangsaan, yakni bangsa manusia.
Betapa keinginan luhur tersebut, mulai marak di dengungkan dari berbagai penjuru mata angin di atas muka bumi. Kehidupan secara damai dalam satu tatanan, penuh kesadaran diri, untuk tidak lagi membedakan Ras (warna kulit) serta membanggakan kebangsaan yang justru menciptakan jurang pemisah, antar bangsa-bangsa di muka bumi. Bahkan bisa saling menghormati perbedaan keyakinan dalam beragama, dalam satu tatanan berbangsa, yakni bangsa manusia.
Kehidupan untuk saling bersentuhan dan bukan saling bersinggungan, dalam sebuah peradaban baru masa depan manusia, sebagai cermin kebersamaan sebuah bangsa besar bernama manusia, pemilik akal, sebagai alat berdfikir, memiliki hati, sebagai alat pertimbangan, hingga tumbuhlah sebuah rasa persaudaraan, senasib dan sepenggungan, untuk hidup berdampingan, menata dan menyelamatkan bumi beserta isinya, sebagai mata rantai dari sebuah ekosistem kehidupan dan peradaban.
Dari keinginan baik tersebut, tentu akan melahirkan hasil besar kebersamaan bangsa manusia, yakni bangsa yang memiliki cipta, rasa dan karsa, untuk kemudian diejawantahkan menjadi sebuah peradaban baru, peradaban kebesamaan dari bangunan budi dan daya manusia.
Melihat keberagaman warna kulit serta perbedaan memeluk keyakinan beragama, atau bahkan tidak mengakui memiliki agama, sudah berabad-abad menjadi pemicu lahirnya pertempuran, untuk saling bunuh-membunuh sesama jenis manusia.
Maka, tidaklah mengherankan, jika saat ini, hasil yang telah dibuahkan dari ketersinggungan antara manusia berbangsa (nation), beragama, telah mengubur dalam-dalam sebuah kata “damai” (peace). Bahkan, peperangan antar suku bangsa, juga antar manusia beragama, telah menghancurkan peradaban besar yang telah mereka bangun sendiri. Pada zaman termodern saat ini pun, isu perbedaan warna kulit, bangsa dan agama, masih menjadi barometer, untuk bisa membolehkan menjajah dan membunuh sesame bangsa besar penguasa di muka bumi, yakni bangsa manusia.
Maka, tidaklah mengherankan, jika saat ini, hasil yang telah dibuahkan dari ketersinggungan antara manusia berbangsa (nation), beragama, telah mengubur dalam-dalam sebuah kata “damai” (peace). Bahkan, peperangan antar suku bangsa, juga antar manusia beragama, telah menghancurkan peradaban besar yang telah mereka bangun sendiri. Pada zaman termodern saat ini pun, isu perbedaan warna kulit, bangsa dan agama, masih menjadi barometer, untuk bisa membolehkan menjajah dan membunuh sesame bangsa besar penguasa di muka bumi, yakni bangsa manusia.
Fenomena yang terjadi sejak awal peradaban manusia, jika kita sepakat dengan pelajaran berbagai agama besar di muka bumi, bahwa keberadaan manusia pertaman kali penghuni bumi adalah Adam dan Hawa, maka, cikal bakal dari keinginan untuk saling menguasai, membuktikan kalah dan menang, maka membunuh pertama kali, dilakukan dalam peristiwa Habil dan Qabil.
Lebih ironisnya lagi, keinginan untuk membunuh sesama jenis manusia, saat ini, telah menjadi sebuah pembenaran yang menjadi sebuah keyakinan, bahwa membunuh adalah sebuah perbuatan sah, untuk dapat mewujudkan keinginan kelompok, bangsa dan lain sebagainya.
Melihat serta merasakan sendiri, betapa kekejaman serta kejahatan yang dibungkus dalam norma kebaikan, maka tidaklah mengherankan, jika founding father’s nusantara, dalam preambule undang-undang dasarnya, menyatakan, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.”, menjadi sebuah kerangka acuan, dasar untuk membangun tatanan kehidupan, berkepribadian dalam berkebangsaan, bangsa Indonesia. Bangsa yang terdiri dari multi etnis, ras serta keyakinan memeluk agama dan kepercayaan tiap-tiap individu, dijamin dan dilindungi dalam isi UUD ’45.
Menyimak kejadian masa lalu samapai hari ini, maka, sudah menjadi kewajiban bangsa manusia di muka bumi, untuk dapat hidup berdampingan, saling menghormati dan menghargai hak azasi manusia.(Irman Syah)
kuwe oral jamu ndok, jamu gendong gending, uwong mintak dio oral, wis di oral malah ra eling...
ReplyDeletehajar bleh.... maju tak gentar membela yang bayar, maju serentak hak kita di jual..... baju ang baju ang sajo.... baju den bilo
lantas kata melintas tanpa batas, walau kita tidak pantas, toh terlepas selepas napas
ReplyDeletelalu lalang lalu lengang lalu ngilu
dan bulan mencandai kita usai makan angin di mandi angin yang bikin kita masuk angin
komennya oke juga tuh..
ReplyDeletetengkiu deh..
yang penting komen
wek, hehehee..