Setelah
dibuka dengan tari-tarian penuh kegembiraan oleh penari yang didominasi ibu-ibu
yang masih kental dengan liukan tubuhnya itu, beberapa penyair mulai membacakan
puisi-puisi mereka. Syarifuddin Arifin, Alwi Karmena, Irman Syah, Joind
Bayuwinanda, Heranof Firdaus, dan sederet penyair lain memulai aksi panggung
mereka.
Beberapa hal menarik pada acara yang bertajuk Mangato
Kato, Kamih Malam, 13 April 2017 tersebut adalah ketika Penyair Irman Syah
tampil ‘meng-oyak’ panggung pentas terbuka Chairil Anwar yang dipadati oleh
mereka yang masih peduli dengan kesenian dan budaya Minangkabau tersebut.
Bang
Ucok, begitu sapaan akrabnya memulai salam dengan ucapan khasnya seperti orang
sedang baindang dalam randai. Kemudian tangannya mengeluarkan bansi dari dalam
tasnya. Dan dimulailah alunan merdu itu. Penonton di bawa hanyut oleh irama
yang menghantarkan kita seolah berada pada pebukitan, perkampungan, pantai
serta sebuah pelayaran yang panjang. Tak sampai di situ, Irman Syah pun
memperlihatkan keahliannya dalam memainkan nada-nada unik yang keluar dari
mulutnya. Dan semakin berdecakkagumlah penonton yang kurang lebih seratus orang
pada malam itu.
Beberapa
puisi yang ia bawakan adalah tentang Indonesia, Jakarta, dan Bandara
Internasional Minangkabau.
“Jangan
tergesa, banyak yang tertinggal
Indonesia, hentikan belajar bernafas
Hidup, bumi dan langit merestui
Jangan sok-sok monopoli deh
Ular tangga masih
Jangan tergesa, banyak yang tertinggal.”
Indonesia, hentikan belajar bernafas
Hidup, bumi dan langit merestui
Jangan sok-sok monopoli deh
Ular tangga masih
Jangan tergesa, banyak yang tertinggal.”
Begitu
sebait puisinya tentang Indonesia. Entah itu memang telah ia tulis sebelumnya,
atau memang kata-kata itu tiba-tiba saja meluncur dari mulutnya. Sungguh, ia
adalah bintang pada malam itu.
Pada
sajak Bandara Internasional Minangkabau-nya, Ucok menceritakan bagaimana
beberapa tahun lalu ia beranjak dari Minangkabau, tanah kelahirannya. Hijrah
menuju Ibukota. Bergerak ke tempat-tempat dimana aktifitas harus hidup, dan
menghidupkan aktifitas dimana kantong-kantong kebudayaan yang sudah mati.
Bahkan ia pun pernah mengisi kegiatan di sebuah penjara, dimana setiap
narapidana ia latih menulis puisi dan mengungkapkan segala keluh kesah mereka
akan dunia. Lalu puisi-puisi tersebut dinilai oleh Kalapas. Dipertengahan sajak
BIM tersebut, sebuah kalimat menarik ia lontarkan;
“Hidup, sekejap. Sekedar berfoto-foto macam
keabadian,” ungkapnya lirih. Kemudian ia lanjutkan sajak tersebut hingga
akhirnya tepuk tangan penonton menutupnya.
Pada
sebuah sesi tanya jawab, Bang Ucok mengatakan, “Sastra adalah adab. Mahkota
bahasa adalah sastra. Ketika orang sudah kehabisan ungkapan untuk berbahasa,
mereka akan kehilangan adab, dan cenderung menjadi biadab. Disitulah tindak
kekerasan sering terjadi. Baik kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan di
jalanan. Untuk itu, diperlukan bahasa yang indah agar hidup lebih beradab. Dan
sastra hadir untuk itu,” ungkapnya.
“Nan
kuriak kundi, nan merah sago
Nan baiak budi, nan indah bahaso,” pantunnya mengakhiri.
Nan baiak budi, nan indah bahaso,” pantunnya mengakhiri.
Hal
menarik lainnya adalah penampilan monolog oleh Joind Bayuwinanda. Aktor kuat
dari DKI Jakarta ini memanggungkan, ‘Saya Rusa Berbulu Merah’ juga terasa
sangat komunikatif bagi penonton yang beragam. Pemeran ‘Julini’ dalam Opera
Kecowa Teater Koma ini memang mampu memikat. Mimik, dan penjiwaan karakter
tokoh yang ia perankan begitu kuat melekat dalam dirinya.
Rupanya,
lelaki yang lahir 14 Mei 1970 ini juga memiliki bakat aktor dan sutradara yang
sudah malang melintang di dunia teater sampai saat ini. Dalam dunia perteateran
di Jakarta, nama Joind Bayuwinanda sudah tidak asing bagi kalangan
seniman-seniman disiplin ilmu lainnya karena pergaulannya yang memang luas
serta bersahabat bagi siapapun tanpa memandang usia tua atau muda bahkan
anak-anak. Lelaki yg biasa disapa Joind atau Bang Djo ini mendirikan grup
teater empat tahun lalu bernama Sindikat Aktor Jakarta.
Kegiatan
yang dirancang oleh Masyarakat Pers Sumbar ini, bekerja sama dengan Dinas
Kebudayaan Provinsi dan Taman Budaya Sumbar. Diisi dan dimeriahkan oleh Tapian
Nan Mudo; Komunitas Padang Puisi, Komunitas Padang Menulis, FIM Sumbar, dan
IJTI Sumbar. Selain itu acara ini juga dimeriahkan oleh peserta undangan,
seperti penampilan tari payung dari SD 29 Koto Tuo, Muaro Sijunjung, Kabupaten
Sijunjung.
Acara
dimulai pada pukul 20.00 WIB di Pentas Terbuka Chairil Anwar, Taman Budaya
Sumbar, Jl. Diponegoro 19 Padang. Sesuai dengan namanya, Mangato Kato, Kamih
Malam, selanjutnya akan diadakan pada setiap hari Kamis malam setiap minggunya.
Banyak
peserta yang antusias dengan digelarnya acara ini. Jonedi Kambang, Ketua Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumbar mengatakan, diharapkan dengan
hadirnya acara ini di Taman Budaya Sumbar akan menambah semarak aktifitas
berkesenian di tempat ini. “Mereka yang mempunyai bakat, dapat mengekspresikan
dirinya di ajang ini. Karena pada dasarnya, setiap manusia itu memiliki jiwa
seni,” ungkapnya.
Lebih
jauh lagi, ‘Mangato Kato’ Kamih Malam, nantinya tidak hanya menjadi ruang
pembacaan puisi oleh penyair-penyair saja, atau penampilan minat bakat dari
para peserta, namun upaya yang lebih besar adalah bagaimana meningkatkan
kepedulian terhadap kesenian dan budaya Minangkabau di Ranah Bundo Tercinta.
Bagaimana me-Minangkabau-kan kembali orang-orang Minang yang telah jauh
bergeser dari adat dan budayanya sendiri. Semoga.
PADANG,
RedaksiSumbar.com [Hendra Munur]
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI