Oleh Irman Syah
Ketika seseorang menyebutkan kata puisi, maka yang pertama
sekali melintas ke permukaan adalah rangkaian kalimat-kalimat dengan kata-kata
yang indah dan menarik serta diikat oleh bait-baitnya. Secara umum pandangan
ini tidaklah salah karena memang demikianlah puisi bagi orang yang baru
terlibat apresiasi. Hanya saja, puisi tentulah tidak sesimpel itu, baik dalam
format dan kandungannya.
Pandangan umum semacam itu menyebar begitu saja, karena
demikianlah bangunan informasi ringan untuk dapat mengajak semua orang agar
bisa dengan cepat respek terhadap karya sastra. Kalau hal ini berhasil, maka
tidak begitu susah lagi mengajak mereka untuk melanjutkan pemahaman berikutnya.
Diskusi dan dialog tentu akan mengantarkan sesuatu yang memang merupakan tujuan
sesungguhnya.
Untuk memahami hal semacam ini ada beberapa hal yang mesti
dimiliki oleh calon penulis puisi yang nanti akan bergelar penyair itu oleh
orang lain yang telah membaca tulisan-tulisannya. Tidak berat sesungguhnya,
tapi tidak pula bisa digampangkan begitu saja, karena untuk menghasilkan karya
memang membutuhkan pemahaman yang tajam tentang makna kehidupan, ukuran dan
kesimpulan.
Semua itu akan menjadi bagian yang kait-mengait dalam
mengutuhkan kualitas penciptaan karya sastra. Tak dapat dibayangkan kalau calon
penulis hanya punya kemampuan menulis saja tapi pemahaman tentang hakikat hidup
dan manusia tidak dimiliki mereka, tentu karya yang dihasilkannya juga akan
berada di permukaan saja: jauh dari kedalaman, hanya bermain di kulit dan bisa
dipastikan tidak berisi.
Karya-karya yang hampa adalah sebuah usaha sia-sia,
menghabiskan waktu, menyenangkan hati sesaat agar telepas dari beban rasa yang
sepele. Banyak orang yang tergoda dengan kenyataan semacam ini: menulis puisi
dan menghasilkan banyak tulisan, tapi isinya hanya menceritakan diri sendiri
tanpa ada usaha untuk mengemasnya dalam hubungan kehidupan yang makro. Jadinya,
berupa curhatan saja.
Padahal, sebuah puisi semestinya gumpalan yang mengkristal,
yang mampu menggugah dan menyentuh pembaca untuk segera menggali hakikat makna
yang ada dalam kandungannya. Bukan berarti mesti dengan tema-tema besar, tapi
galian persoalannya yang harus betul-betul dipahami dan kemudian dikemas
berdasarkan filosofi kehidupan yang jelas serta ukuran dan penilaian yang nyata
dalam cermin keseharian yang tidak
pura-pura.
Alangkah bahagianya orang yang membaca puisi itu jika dia
merasa berada di dalamnya. Sentuhan dan alunan kata-kata telah membawanya ke
sebuah dunia yang membangun perenungan atas peradaban diri atas sikap hidup
yang tertuang di dalam karya. Dan tentu pula, alangkah bahagianya lagi sang
penyair yang sempat menulis karya itu karena diketahuinya bahwa puisi yang
ditulisnya telah menjadi sebuah jalan pemahaman kehidupan bagi orang lain tanpa
disangka.
Lebih jauh dari itu, sesungguhnya, kekuatan karya memang tak
bisa disangkal: bahwa apa yang dihasilkan penyair dengan maksimalitas dan
totalitasnya untuk memahami nilai hidup dan kehidupan tentunya akan membuahkan
karya sastra yang matang. Apalagi dengan turut-sertanya dia berperan dalam
mengikuti perkembangan yang terjadi pada ruang lingkup masyarakat melalui
aktivitas budaya yang nyata dengan kesungguhan. Apa yang dia tuliskan akan
tercermin dari kandungan tulisannya.
Semua ini tentu tak lepas pula dari pandangannya yang tajam
tentang segala sesuatunya dan ditambah pula dengan ragam bacaan yang mendukung
serta penguasaan bahan pengetahuan:
perihal hukum dan nilai-nilai kerohanian, serta rajin mengasah akal
sehat berdasarkan bimbingan wahyu, yang kesemuanya itu menjadikan diri dan
karya seiring sejalan dalam mempertanggung-jawabkan ungkapan: di sinilah
hakikat keistimewaan puisi itu bermaqam.
RoKe’S, 19 September 2014
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI