Oleh Irman
Syah
SETELAH menyimak bahasa dan prilaku dalam
keseharian hidup manusia Indonesia yang begitu rapi membahasakan
kepentingan melalui kemasan dan mengatas-namakan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya, maka banyak hal yang dengan begitu saja hilang dalam diri. Akar
dan nilai kebudayaan tidak lagi muncul mengedepan. Masing-masing kubu telah
menuturkan hal-hal penting atas nama kebutuhan, keinginan, dan kedamaian bagi
rakyatnya. Dan ini dibahasakan pula dengan verbal dan dijelas-jelaskan. Padahal,
keperluannya cuma satu, tak lain: tampuk kekuasaan.
Akhirnya muncullah spirit yang tidak terhalangi dari lubuk hati: ya, sebuah kebangkitan kebangsaan. Bangsa Indonesia hari ini
masih terpuruk dan terbenam dalam lembah tak bernama dan bahkan bisa juga
hanyut dalam mimpi panjang yang menakutkan. Tersebab itu, sudah diwajibkan bagi bangsa
ini untuk bangkit dan bangun dari mimpi yang menyesatkan. Hal ini amat
diperlukan karena suasana kebangsaan saat ini memang tengah meradang.
Sakitnya tak ketulungan. Siapa yang mampu mencari jalan dan memapahnya ke luar
dari persilang-sengketaan yang rentan?
Pandangan ini sungguh merupakan kesadaran mutlak tentang adanya
nilai kecintaan pada kehidupan yang penuh dengan rasa persatuan dan kesatuan serta
nasionalisme awal yang dulunya melahirkan negeri ini. Pendapat yang
berarti tentu akan lebih berarti lagi bila tidak hanya merupakan sekedar
pendapat. Perlu lakuan, usaha dan kerja keras yang mengarah pada titik temu
kebangsaan dengan butir-butirnya yang mengacu pada kemaslahatan umat manusia.
Ya, bagi rakyat manusia seantero nusantara.
Melihat kenyataan hari ini, apalagi dengan maraknya
bangunan komunikasi, iklan terselubung dan terang-terangan jelang Pelpres 2014,
maka kewaspadaan masyarakat akan nilai-nilai kebangsaan amat perlu diingatkan. Kalau
tidak, bangsa ini tentu akan terjerumus lagi pada liang yang teramat dalam dan
panjang. Akibatnya, bangsa ini terpuruk untuk selama-lamanya. Kematian idiologi dan nilai
kebangsaan yang kini tengah megap-megap itu bukanlah kerinduan
sebagian besar masyarakat Indonesia. Kerinduan akan sebuah kedamaian dalam suatu cita-cita
besar sebagai bangsa besar di muka bumi ini adalah impian yang tak berkesudahan dan ini mesti dipertaruhkan.
Kalaulah ketimpangan makin
jadi dan pengkhianatan terhadap bahasa yang terus berlarut-larut, maka akan tiba saatnya
ketidakpercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Ini tentu akan menjadi sesuatu
yang tak diinginkan. Keterpecah-belahan akan menyengsarakan. Perberaian akan
mengakibatkan mudahnya beragam kepentingan luar masuk dan menyusup ke
tubuh negeri. Ini adalah sesuatu yang memang diinginkannya dan telah disiapkan
dengan usahanya yang demikian rapi. Di negeri ini, selepas bulan kebangkitan,
gugur pula bulan yang dikenang sebagai kesaktian Pancasila, dan kini bahasa semakin
porak poranda.
Bahasa! Ya, bahasa: kekuatan inlah satu-satunya jalan yang dibutuhkan untuk
mempersatukan. Ketika semua telah memakai dan fasih menggunakan istilah
serapan, saat itulah kegamangan kebangsaan menjadi nyata. Kearifan yang ada di
dalamnya telah berubah dengan isian baru serta pembaruan yang tidak lagi
mengakar atas kekuatan konsep yang luar biasa atas nama musyawarah. Bentuk dan
usaha kebangkitan berdasarkan pikiran semacam ini tentu akan menjadikan spirit
utuh atas nama kebutuhan dan perdamaian internal manusia Indonesia. Jika ini
bisa dipahami secara nyata dalam tindak laku bagi calon pemegang kebijakan dalam memandang
masyarakat dan negeri ini tentu tidak akan pernah muncul sikap arogan serta fitnah yang memecah belah.
Kembali dan kepulangan kita tak lain adalah kepada bahasa secara utuh dan dengan segala seluk-beluknya. Ini merupakan kewajiban
yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalau tidak, karya seni budaya yang merupakan inti kehidupan yang di dalamnya termasuk kesusastraan akan menjadi fashion saja bagi kehidupan sehari-hari,
layaknya industri yang yang telah mengkebirinya. Ini amat menyakitkan. Bukankah di dalamnya segala tata aturan dan nilai hidup baik
berupa tatanan pemerintahan dan kelayakan hidup manusia disymbolkan. Kecerdasan intelektual yang mengakarlah yang akan mampu menerangkan dalam lakuan dan keputusannya dalam rupa kebaikan. Tentu, ungkapan verbal yang mempengaruhi tingkah laku serta
keputusan sepihak yang dicemaskan akan tipis kemungkinannya.
Bahasa, ujung tombak kemajuan budaya berpikir, merasa dan
bertindak yang tepat melalui wacana kebangkitan tentu akan lebih berarti dari pada
format debat calon yang dipertontonkan. Lain hal jika debat yang dimunculkan
itu dilakukan dengan format kebudayaan dan kesenian; layaknya ‘situn’ atau
puisi pantun, atau apa sajalah yang memang mengdepankan rasa dan persatuan bagi
sesama di dalamnya serta juga memikirkan dampak negatif bagi penonton dan
pendengarnya.
Kebangkitan negeri dalam format dunia luar atas nama pakaian
pinjaman akan selalu menjauhkan negeri ini dari asalnya. Kebangkitan
mestilah dengan nafas sendiri, kalau tidak berarti kita telah dengan sengaja
meninggalkan bahasa sendiri. Dengan begitu, tak ayal lagi kebangsaan telah dikebiri di negeri sendiri. Meninggalkan bahasa dan asal-usulnya adalah pengkhianatan
terhadap nilai kebangsaan yang melahirkannya.
Kesadaran semacam ini adalah kewajiban yang amat dirindukan. Inilah
kebutuhan yang mendesak dalam penyelamatan negeri, budaya bangsa, dan rakyat semesa.
Semua kita mesti meluruskannya, kalau tidak,
kehilangan yang menyeramkan itu bertampuk di pelupuk mata.
RoKe’S, 3 Juli 2014
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI