Pertujukan Puisi Sastri Bakry:
‘BULAN SENDIRI DI KERAJAAN LANGIT DAN BUMI'
‘BULAN SENDIRI DI KERAJAAN LANGIT DAN BUMI'
Oleh Irman Syah
Ketika puisi diungkapkan komunikasi yang terlahir akan
memunculkan daya pikat, menarik,
disenangi dan mampu menghadirkan butir-butir pencerahan hati penontonnya. Dengan begitu, pandangan
dunia yang diimpikan penyair akan menjadi horison harapan pula bagi
pendengarnya: ya, sesuatu yang saling selam-menyelam lewat momen puitik, bahasa
kesenian yang mempertemukan ruas dengan buku.
Kumunikasi puitik semacam ini amat dibutuhkan, tapi kadang
luput dan lupa diterabas oleh penyair, dan akhirnya terabaikan. Akibatnya,
puisi menjadi kesepian, kaku, dan tidak menarik sebagai tontonan. Ada sebagian dari penonton yang menikmatinya
berkomentar dengan sedikit bosan, karena mereka merasakan sesuatu yang menoton
dalam melihat pembacaan puisi.
Puisi akhirnya cuma hanya enak untuk dibaca dari buku, webb, atau blog ersonal, dengan keragaman
teksnya. Itu pun ketika sendiri, menikmatinya ketika berada dalam perjalanan.
Sejauh ini masih seperti itu. Perkembangan dan dinamika ungkapan komunikasi
puisi di berbagai tempat dan kota di Indonesia kelihatan mandeg. Padahal,
sesungguhnya peluang untuk menghadirkan pertunjukan puisi sebagai salah satu
bentuk ‘kemasan puitik’ merupakan ruang
yang sangat terbuka bagi kerja kreatif seniman.
Pusat Kajian Puisi, sebuah grup yang terlahir di Kompi DKI
Jakarta dan berada dalam lingkup Komunitas Planet Senen. Selain mengkaji puisi,
grup ini berusaha pula untuk mengangkat dan mewacanakan konsep pertunjukan. 20
judul Puisi Sastri Bakry yang terpilih dari buku Sastra Sastri dalam Puisi,
dikurasi terlebih dahulu untuk dipanggungkan dengan tajuk ‘Bulan Sendiri di
Kerajaan Langit dan Bumi’. Pertunjukan dan Diskusi Puisi yang menghadirkan
pembicara Eka Budianta dan Giyanto Subagio ini dilaksanakan pada hari Senin
(2/6), bertempat di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jln. Cikini Raya 73
Jakarta Pusat.
PERTUNJUKAN PUISI SASTRI BAKRY
Pemanggungan puisi adalah hal baru yang memungkinkan
terbukanya peluang kreatif apresiasi puisi dalam bangunan pementasan yang
tertata. Karya Puisi yang diciptakan oleh Sastri Bakry yang sarat dengan
gejolak kenyataan di tubuh negeri ini akan dipanggungkan. Ragam persoalan dan
titik munculnya gagasan karya disigi Sastri melalui ketajaman rasa dan
periksanya lewat capaian bahasa lahir menjadi karya. Maka mengalirlah bahasa
pikir dan rasa bahasa itu dengan pergondaman maknanya. Ada jalinan impian yang
membuhulkan sikap serta pandangan hidup akan nilai kebangsaan yang dilantunkan.
Pusat Kajian Puisi Planet Senen merangkul dan menyatukan
kelompok/komunitas dalam bentuk kerja sama kreatif. Kegiatan ini juga didukung
oleh para Penyair Indonesia, Malaysia dan Singapura. Komunitas yang tergabung
dalam kegiatan ini, Antara lain; Bumi
Kalamtara, Sastra Kalimalang, KPJ, Waroeng Poeisi Rohmantik, Komunitas
Musikalisasi Puisi DKI Jakarta, dan Kelompok Penyuka Seni Sastra Pertunjukan
yang kini mulai menampakkan diri dalam pendokumentasian gagasan kreatif secara
visual.
Mempertunjukan puisi dengan unik dan diiringi alat musik
tradisional dan modern, serta format koreografi gerak tradisi yang telah
disesuaikan dengan dinamika zaman, tentulah sebuah usaha kreatif yang menarik
perhatian. Usaha untuk menyatukan puisi dengan
suasana yang dibangun musik pengiringnya melalui ungkapan niscaya akan
membuat penonton terhibur serta mendapatkan suasana baru dengan manfaat yang
tak cuma sekedar. Dengan begitu, kalayakan puisi akan tetap melekat pada
harkatnya secara nyata dan memikat.
Mencermati butir-butir pikiran dari mahkota bahasa yang
dipasangkan penyair melalui karya tentu mampu jadi cermin, penerang jalan
kehidupan, serta perjuangan untuk menikmati jalan kedamaian umat manusia.
Melalui pertunjukan puisi, penonton akan mudah tersentuh dan tergugah untuk memunculkan kerinduannya atas
nama kepulangan pada rumah hakikat kedirian yang sesungguhnya.
BULAN SENDIRI DI KERAJAAN LANGIT DAN BUMI
Beberapa catatan perlu ditelusuri ketika manusia kreatif
menikmati jalan hidupnya dengan penuh kesadaran: makna siang dan malam yang
bergantian, bumi dan langit yang membentang dan menaungi, jarak dan percik
cahaya inilah kadang yang menjadi misteri tak terduga dalam amatan para
penyair. Sastri Bakry menukilkan ini
sebagai impian dan ekspresi melalui puisi dengan apa adanya, seperti menenangkan gejolak jiwanya yang membuncah.
Catatan itu pun sekaligus melahirkan tanya dan jawaban yang sering beriringan.
Transendensi serta keagungan muncul secara kontemplatif.
Persoalan yang dihadirkan kian menubuhkan tegur sapa
kenyataan ke dalam karya, dan karya pun membangun sentuhan kenyataan yang baru
pula untuk dikabarkan melalui pemanggungan. Demikianlah Sastri Bakry, Penyair
Perempuan dari Minangkabau yang sarat aktivitas ini, menumpahkan temuannya
menjadi makna kehidupan lewat ekspresi
karya kreatif yang dia salurkan melalui diksinya yang terpilih. Kecintaannya
pada kesenian dan kebudayaan serta alam yang telah mengajarkan bahasa yang
sesungguhnya telah menggerakkan kata-kata yang bermahkota melalui bahasa batin
yang dia miliki.
‘Bulan sendiri di Kerajaan Langit dan Bumi’ ini dipilih
sebagai judul pertunjukan puisi memang merupakan abstraksi semesta yang
berkekalan di dalam karya. Symbol ‘Rangkiang’ atau ‘Lumbung Padi’ yang
menggantung dari tatanan artistik antara bumi dan langit di panggung merupakan
catatan kehidupan tersendiri yang perlu dikaji ulang dalam bentuk kenyataannya
secara tepat. Bagaimana cara pandang yang diprioritaskan tentang ekonomi bisa
disesuaikan dengan akar kemandirian yang sesungguhnya. Nilai tradisi, budaya
dan peradaban manusia mesti diangkat ke permukaan dengan cara pikir yang tepat
serta kedewasaan dalam mengambil kebijakan.
Puisi-puisi Sastri Bakry selain dekat muatannya dengan
persoalan yang merebak di Republik ini, baik
asal-muasal kejadian, harkat kekuasaan, bencana, benturan dan nilai
kebangsaan, serta Pemilihan Umum, menjadi isian pertunjukan. Konsepnya dikemas
secara makro. Koreografi gerak, musik, keaktoran, cahaya dan artistiknya
dikristalkan pada nilai puitik yang ingin dicapai. Kemasannya digarap dengan
pengucapan kaba (kabar=folklore). Janang (narator) akan mengantar beragam kisah
atas kenyataan yang kadang dia alami secara empiris: ungkapan puisi dengan
urutannya bermunculan lewat butir-butir pilihan karya melalui pemanggungan
penyair.
Pengamatan cermat tentang alam, kehidupan, dan manusia oleh
Sastri Bakry dari filosofi “Alam terkembang Jadi Guru” ini dipanggungkan lewat
pertunjukan puisi yang ritmik dan
menyentuh, berdasarkan ‘horison harapan’-nya tanpa meninggalkan akar
budaya yang melingkupi perjalanan hidupnya. Saluang dan kaba, gerak randai dan
kecapi, atau pun rampak perkusi akan menjadikan puisi pulang kembali ke
rumahnya dalam hakikat Petuah, Kias dan Banding serta Petatah-petitih kehidupan
yang telah melatarinya.
Secara Koseptual, Pertunjukan Puisi ini digagas Penyair Irman
Syah (Pusat Kajian Puisi Planet Senen) dengan Sutradara Joe Mirshal (Bumi
Kalamtar) dan Artistik Joko Mulyadi (MultiArt & Solution). Pendukung
pertunjukan ini, selain Penyair Indonesia juga menghadirkan 2 orang penyair
tamu, yaitu; Umar Uzair (Malaysia) dan Asnida Daud (Singapura). Kegiatan ini
merupakan kerjasama Gebu Minang, Pusat Kajian Puisi Planet Senen, dan Dewan
Kesenian Jakarta dengan Lingkar Komunitas.*
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI