di dalam Tambo di puisi yang panjang itu tercecer
darah revolusi
alirannya mendeklarasikan monumen Malin Kundang
dalam dada
langit cerah, awan berarak petang membingkiskan
cerita lama
cerita yang tak habis-habisnya dikemas dan
diperbaharui
hingga negeri kian berseri dalam terjemahan yang
tak kunjung usai
padahal ia sendiri juga tak merelakan Ibunda
terlempar jadi janda
penuh gairah dan perkasa yang menenteng anaknya ke
hutan-rimba
menjemba apa yang dapat dijemba dengan diri yang
kesepian
akan pagutan lelaki yang berlayar ke negeri baka…
perih derita Ibunda kian membangun nestapa,
apalagi kesunyian rongga
lumut dan ijuk bergerigir tumbuh di embun jatuh, apalagi
tentang lelaki
maka kelengkapan keperempuanannya tertepis sudah
dengan aliran susu
yang meneteki buah hatinya sehingga tinggal
sebatang kara
air kehidupan itulah yang mengajarkannya
bertualang tentang peta
perantauan dan persinggahan memungut pergumulan
hidup dari kesepian
dan dermaga mengajarkannya paham tentang wanita
ketagihan dan kerian melaju menjelan pulau di biru
lautan
semakin menumpukkan tualang panjangnya jadi
bertuah di laut sakti
dan direngkuhnyalah rantau-rantau kehidupan yang
jauh
di dalam Tambo di takdir yang jalan itu menetes
duka masalau perempuan
lelaki yang tak kering dirajut masa bagai sulaman
renda biru-muda
di dada tuanya, sementara kepergian lelaki kedua
dalam hidupnya
menjadi ornamen ruang mata yang tak
habis-habisnya: sang Anak
melayari darah Bapaknya mjengarung cinta di
asinnya airmata pelepasan
dihadangnya laut, begitu harmoni bunyi dan debur,
angina berkesiur
dan ikan-ikan meloncati dinding kapal, terbang dan
lintas-melintas
sebatas mata nyeruaki angan-angan, gunung, ngarai,
lembah,
dan sungai, menghadirkan semerbak kuntum dermaga,
bagai mawar
di embun pagi, rindu dicium hausnya sukma
tak disangka pelayaran sampai ke pangkal-mula: Air
Manis terjelang pula
meski sekian muara dermaga tersinggahi ricik air
mengalir
ke rongga-rongga kenikmatan menelusuri kelok dan
lekuk dalam nafas
memaknai jalinan hati yang sunyi ngeri!
kilat memancar, aroma masalalu kembali terasa di
depan mata
lengkingan tangis perempuan tua mengoyak perih!
masalalu disedunya: “ taka ada laki-laki di
negteri ini. semua membuang
kelopak perempuan!”
di dalam tambo, di puisi yang menjulur itu rahim
menyesali kelahiran
darah revolusi menyibak ke bawah pusar keabadian
yang tindih-menindih
memaknai kepergian dan dan perpisahan,
menggenanglah kejadian
timpa-bertimpa menghadang mata
lelaki kedua yang turun dari kapal seakan berubah
rupa, seakan lelaki pertama
saja di depan mata bagai songsongan masalalu di
pantai ini juga
atau mungkin ini tersebab haus yang teramat dahaga
yang begitu lama…
hidup dengan kemudaan kesendirian, keriput dan
lisut terus menikam
tubuh yang berjemur kenangan sepanjang impian
perantauan bukanlah jawaban! tak mungkin, tak
masuk akal, rumit, perih, ah..
amoral! Batinnya berteriak-tolak tapi cekam yang
menyambutnya
tubuhnya menggelepar liar, “aku bukan
Sangkuriang..!”
teriakan menggema ke batu-batu, menghempas ke
pantai, tikam-menikam
pilu dan ngilu kemudian menghempas lagi ke
batu-batu:
manusia pun selalu mengutuknya dalam lagu, dalam
kaba, dalam cerita,
dalam pelajaran tingkah laku, moral, akhlak, dan
basa-basi anak bangsa
yang tak pernah terselesaikankan…
Menteng31: 20 Feberuari 2003
Baa caronyo mambuek blog macam ko Ir? Indak bisa mangaktifkannyo, lah babuek judulnya mamasuak-an data-data yang lain ndak bisa. Tolong tunjuk-an yo, bilo ado wakatu.
ReplyDeletecuma mambuek akun blog di blogger.com se da Katik:
ReplyDeletesudah tu mamilih formatnyo.
Ado kok. Arkhi punyo lo tu mah..
cubo cek jo inyo..
Salam
#Jabat-erat!