Balada Penjual Kembang
di bawah jembatan, bergaris rel, beralas kerikil
bantalan-bantalan besi, tempat duduk yang empuk
melepapkan pantat berlama-lama
suara cekikikan, hempasan kartu, atau keriuhan
adalah musik yang begitu hapal
hingga tak lagi terdengar
tapi dangdut selalu berkerubut dan meloncat
senja mengalirkan darah ke Barat
menyusu di tubuh malam dan bulan beringsut
bagai siput menyusur remang stasiun
sepur muncul begitu ganas, pancarkan sinar keras
membelah onggokan, warna-warni pakaian,
kertas dan angka-angka, mereka bergeser, menyibak
untuk kemudian melingkar lagi menyatukan parfum
menggelar kebersamaan ke ujungnya
Tanah Abang berputar, roda nasib bergetar
dan perempuan-perempuan takut cahaya mengundang
tamu untuk berkecup dan bergulingan di reokan
triplek
merekalah yang setia merindu malam, meragukan
siang
menyerahkan diri seutuhnya pada gelap
bersidekap erat menyibak remang, memarakkan hidup
yang kian jauh dan kaki-lima berebahan, menggelar
lelah di aroma tubuhnya
di sinilah mereka menggetarkan kota, menikmati
keluh yang teramat kesah
dengan setangkai bunga yang dipetik beribu lelaki
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI