CHAIRIL ANWAR: Sebuah Kenangan yang Dinamis


Oleh: Irman Syah

Kematian bagi Chairil Anwar jauh beda bahasanya dengan kata sebelumnya, yaitu: kehidupan yang dia alami. 

Chairil Anwar penuh gejolak dan impian dengan rasa Nasionalismenya yang tinggi tentang republik ini: bukan untuk menjadikan republik sebagai sumber kehidupan pribadi tanpa menghargai harkat hidup bagi rakyatnya.

Matinya Chairil Anwar adalah ajal yang datang menemui, menjenguk, membujuk, atau banyak lagi, seperti; merampas, merampok, menikam, menghunus, tapi jelas bukan ‘merayu’-nya untuk meninggalkan sesuatu yang amat berarti bagi dirinya dan kehidupan bagi manusia.

Hidup bagi seorang Chairil Anwar ‘dimilikinya’-nya, ia nikmati lewat kecintaan, kebencian, dendam, atau pun impian. Ini dibuktikannya dengan bahasa kehidupan yang dapat kita rasakan serta kita nikmati hingga hari ini dan bahkan sepanjang zaman..

Bahasa itu adalah terjemahan dan penerimaannya tentang kehidupan republik ini serta penerimaan kita terhadap karya yang diciptakannya, berupa perjalanan hidup, atau sejarah kesusastraan Indonesia yang dibentangkannya.

Kesemuanya itu, sesungguhnya adalah bahasa kehidupan manusia yang kukuh dengan kedisiplinan pilihan serta dapat dicontoh dalam hal komunikasi ‘kebenaran’ kata lewat karya yang ia tinggalkan bagi kepentingan kehidupan manusia lain.

Tak ada lagi! Semua dipagut kenangan. Kenyataan bahasa hari ini hanyalah bunga-bunga kaku yang tak mampu menggerakkan kenyataan yang sesungguhnya. 

Tapi Chairil, ialah cermin yang tak mau berbagi kecuali dalam hal perjuangan pemuda yang enerjik untuk mencipta dan mengisi kehidupan secara kreatif  demi senibudaya bangsa di negeri ini.

Gedung Joang 45, Maret 2003
Lingkar Humanis Universal, 24 April 2012
Menteng 31, Jakarta Pusat

Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI