Setelah perjuangan yang cukup panjang, sejak 2003, akhirnya terbentuklah Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi) pada 9 Januari yang lalu. Upaya gigih tak kenal surut dari Haji Fredi Arsi, ayah 6 bersaudara yang tergabung dalam Deavis Sanggar Matahari, membuahkan hasil yang indah. Keberadaan komunitas ini terkait erat dengan Pusat Bahasa, yang turut merintis dari waktu ke waktu, bahkan melalui festival.
Di antara cabang seni yang lain, mungkin musikalisasi puisi termasuk paling akhir membangun komunitas. Para sastrawan, dramawan, sosiawan, bahkan pecinta alam dan kelompok studi tertentu, sudah lebih dulu membentuk komunitas. Kebutuhan untuk saling mengasah wawasan, meningkatkan frekuensi diskusi, menggali potensi, dan tentu saja berkarya, diwadahi oleh sebuah komunitas. Walaupun dengan kualitas yang mungkin tidak sama, umumnya suatu komunitas akan lebih moderat dan lentur untuk masuk ke wilayah-wilayah yang semula sulit ditembus oleh formalitas. Bahkan beberapa komunitas kemudian mendirikan yayasan untuk kiprah sosial dan aktualisasi diri mereka di tengah masyarakat.
Posisi yang unik, antara grup musik dengan penyair atau pembacaan puisi, selama ini tidak terperhatikan. Lagu, jika bukan instrumentalia tentu akan berisi lirik. Syair atau lirik itu bisa ditulis oleh anggota band, penggubah lagunya sendiri, atau seorang penyair. Sebagi contoh, lagu “Dunia Ini Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan oleh Duo Kribo (Ahmad Albar dan Ucok Harahap), liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail, seorang penyair tersohor. Sedangkan Ebiet G. Ade menulis puisi lebih dulu, baru kemudian digubah menjadi nyanyian. Leo Kristi secara bersama-sama menggubah lagu dan menulis puisi liriknya.
Posisi yang unik, antara grup musik dengan penyair atau pembacaan puisi, selama ini tidak terperhatikan. Lagu, jika bukan instrumentalia tentu akan berisi lirik. Syair atau lirik itu bisa ditulis oleh anggota band, penggubah lagunya sendiri, atau seorang penyair. Sebagi contoh, lagu “Dunia Ini Panggung Sandiwara” yang dinyanyikan oleh Duo Kribo (Ahmad Albar dan Ucok Harahap), liriknya ditulis oleh Taufiq Ismail, seorang penyair tersohor. Sedangkan Ebiet G. Ade menulis puisi lebih dulu, baru kemudian digubah menjadi nyanyian. Leo Kristi secara bersama-sama menggubah lagu dan menulis puisi liriknya.
Musikalisasi puisi sebetulnya tumbuh subur di awal tahun 80-an. Saat itu, salah satunya Ags. Arya Dipayana, menggubah puisi-puisi Sapardi Djoko Damono menjadi lagu. Tembang sederhana yang diiringi dengan petikan gitar itu memperluas keanggunan sang puisi. Umumnya, nyanyian berirama folk atau country itu sangat cocok dibawakan untuk pertemuan-pertemuan informal para mahasiswa, misalnya di gunung atau pantai. Itulah yang terjadi di kalangan mahasiswa sastra dan antropologi UI. Selanjutnya tak hanya satu dua puisi atau segelintir penyair, melainkan banyak sajak yang tergubah menjadi gita, oleh Umar Muslim, Ari Malibu, dan para kelompok musikalisasi puisi yang menjamur.
Banyak peristiwa sastra yang tak meriah jika tidak dihiasi dengan musikalisasi puisi. Setidaknya, selain Sapardi, puisi Toto Sudarto Bahtiar, Subagyo Sastrowardoyo, Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain mulai menjadi lagu yang asyik. Sebagian besar memang melankolis. Dan sampai kini, puisi terbanyak yang menjadi lagu adalah karya Sapardi, yang umumnya berbicara tentang alam dan cinta. Melankolia.
Dari sejumlah kelompok musikalisasi puisi, Sanggar Matahari menjadi semacam ikon, karena konsisten mengamalkan cabang seni itu. Koleksi lagu yang tercipta dari puisi sangat banyak, sehingga setiap tampil menawarkan lagu yang berbeda. Enam bersaudara itu gigih melatih kelompok-kelompok dari berbagai provinsi dalam format workshop. Dalam dua tahun terakhir, dengan semangat luar biasa, akhirnya mereka sanggup menghimpun grup musikalisasi puisi dari 22 provinsi dan 14 kabupaten/kota.
Kebetulan, pada 22 provinsi itu, terdapat Balai Bahasa yang turut membina pertumbuhan kelompok-kelompok itu. Mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tanggara, Maluku, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Papua. Selain itu masih ada kota-kota dan kabupaten yang menjadi pusat keterwakilan. Seperti misalnya Binjai, Bukittinggi, Pagar Alam, Lampung Tengah, Bogor, Ambon, dll.
Sang penggagas, Sanggar Matahari, sebenarnya sudah mulai mengisi acara berkala di TVRI sejak tahun 1990. Pada tahun 2003, mereka memprakarsai penyelenggaraan festival musikalisasi puisi dan diskusi. Dari perbincangan dan pemikiran yang terus bergulir, akhirnya pada 24 Desember 2006, komunitas itu ditegakkan. Para pendirinya adalah H. Fredi Arsi, Fikar W. Eda, Maman S. Mahayana, Agus R. Sarjono, Jamal D. Rachman, dan dua pemusik Dedi dan Andi.
Pada Jumat malam 9 Januari 2009, Komunitas Musikalisasi Puisi Indonesia (Kompi) dideklarasikan. Sekjen Kompi, Fikar W. Eda membacakan riwayat singkat pembentukan Kompi yang ditentukan eksistensinya di Diparda Tugu, Puncak. Kemudian H. Fredi Arsi membacakan Deklarasi Kompi. Peresmian dilakukan oleh Dendy Sugono, Ketua Pusat Bahasa yang dalam pidatonya menyebutkan bahwa musikalisasi puisi akan dikembangkan sebagai genre dan musik Indonesia.
Acara yang didukung oleh Kader Muda Demokrat dari Partai Demokrat, Pusat Bahasa Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Koran Tempo, dan tentu Pusat Kesenian Jakarta itu, tak hanya menyampaikan deklarasi. Dalam kesempatan itu, ditampilkan beberapa kelompok musikalisasi puisi, antara lain dari Jambi, Jawa Barat, Yogyakarta, Gorontalo, dan lain-lain. Pada akhir acara, Sanggar Matahari didaulat untuk menampilkan gubahan lagunya.
“Malam ini, sesungguhnya bukan buat penampilan kami,” kata Irma, si bungsu dari enam bersaudara. “Kami tidak mengenakan kostum panggung.”
Acara yang dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya itu berjalan khidmat pada awalnya. Seusai deklarasi, panggung menjadi lebih cair untuk pertunjukan kelompok musikalisasi dari beberapa daerah. Dipandu oleh Deavi (dari Sanggar Matahari) dan Irman Syah (penyair) yang kocak, suasana gedung Teater Studio Taman Ismail Marzuki terasa hangat.
Dendy Sugono berharap, dengan musikalisasi puisi, kreativitas kaum muda tersalurkan. Nilai positifnya, dengan sibuk berkreasi, kita akan terhindar dari narkoba dan tawuran antarpelajar. Bahasa seni, terutama musik, bersifat universal. Seni musik dapat menggalang persahabatan. Dengan genre baru ini, budaya Indonesia tetap terjaga, karena masing-masing kelompok akan mengangkat tradisi musik dan lagu daerahnya masing-masing.
Rasa nya setiap oang menyukai nyanyian, dengan seleranya masing-masing, tentu. Lagu dan puisi yang dikawinkan secara estetis akan membangun jiwa yang damai.(Kurnia Effendi)
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI