SASTRA INDONESIA:“SEBUAH SAMPIRAN TANPA ISI, FRASE TANYA TAK KUNJUNG JAWAB..”

Prolog
Awalnya, saya beranggapan Sastrawan adalah seorang linguis yang cermat. Sebab, merekalah (segelintir manusia) yang mampu menguraikan pikiran dan pendapat manusia ke dalam analisis bunyi (fonem dan morfem), sintaksis, dan pragmatis. Selain itu, sastrawan juga dibebani oleh tanggung jawab sosial dan sejarah yang sungguh tidak ringan. Sebab, sebagaimana diyakini selama ini, sastrawan-melalui karya dan totalitas kediriannya--adalah sesosok “arsitektur kemanusiaan”.

Pendapat di atas, saya ketengahkan untuk dijadikan patokan dalam upaya memahami posisi dan peran historis sesosok “sastrawan” (dengan S capital). Bagaimana mereka menjalani hidup, menjadi bagian dari hidup—“hidup” dan “manusia”: manusia dengan segala kemanusiaannya, hidup dengan segala kehidupannya—sekaligus melalui karyanya mereka menjadi “arsitek” atas hidup dan manusia itu sendiri.

Namun, sejarah yang kusut, sejarah yang tidak memihak, yang ditulis hanya untuk mengukuhkan satu pihak: para ruling class, kaum terhormat yang umumnya datang dari puak/kasta militer, telah membuat bahasa sebagai “rumah” bagi seorang sastrawan, tidak lebih dari sebuah rumah yang menyimpan kisah pertikaian dan dendam kesumat yang tidak berkesudahan…


Perjalanan
Perjalanan kesusastraan kita, dalam hemat saya, adalah perjalanan dari kenyataan semacam itu. Balai Pustaka, Pujangga Baru, dan Angkatan 45 serta Angkatan sesudahnya seperti mata rantai generasi dengan warisan “dendam tak berkesudahan”, dengan konsekuensi tiadanya satu pun yang tuntas dan rampung. Karya kita tak lebih dari perang “Habil dan Kabil” dengan kesusastraan, secara lebih umum menyerupa Padang Karbala, dengan kita menjadi bagian yang saling membantai dan dibantai. Dan, bahasa aduh… adakah kita--melalui karya--telah melahirkan bahasa?

Mengemban persoalan di atas, menjadi titik anjak sebelum kita bicara tentang sastra. Sastra dalam lingkar estetik, dengan adanya equality antara penyair, teks dan audient. Penyair-penyair terdahulu, yang mendedikasikan dirinya, yang kita tidak tahu siapa mereka, yang menulis (katakanlah) syair dengan public terlibat di dalamnya, tak ada jarak antara teks, public, juga penyair. Yang ada hanya lingkar estetik humanisme..

Akhirnya, atas nama sejarah yang saya pilih dan saya masuki--ini mungkin sangat personal dan saya tidak hendak mengundang Anda untuk masuk juga ke dalamnya--saya tetap berusaha untuk berketetapan hati. Menyakini bahwa “kalam awal” serta kisah-kisah lama yang juga mendukungnya. Sebagaimana penyair terdahulu yang menulis syair dengan kerendahan hati mereka, dengan pilihan untuk tidak mau menuliskan namanya.

Puisi biarlah yang “mengada” di dalam ingatan dan horizon harapan pembaca, di dalam batas-batas persepsi dan imajinasi (mungkin) pada sebentuk esok yang mereka kehendaki. Dan saya biarlah raib dalam bahasa, dalam sejarah, ketika saya memilih hidup di tengah-tengah kenyataan getir kaum urban, meninggalkan masa silam yang mungkin damai dan gemulai: memilih hidup dan menjadi bagian dari kegetiran urban itu sendiri.

Urban
Urban, dalam hemat saya bukanlah kenyataan yang terbentuk secara kebetulan. Tapi, ia adalah bagian dari apa yang kita kerjakan di masa silam, yang di dalamnya termasuk berbagai kebijakan politik yang tidak adil, konsep dualisme kota-desa, dan kini terhubung dengan pemiskinan global masyarakat di pedesaan.

Sejarah itu, pada ujungnya, telah melahirkan kenyataan urban yang tidak terlepas dengan kenyataan kemiskinan dan pemiskinan karena kelahirannya adalah sesuatu yang dikondisikan. Lantas, bagaimana dengan sastra? Adakah sastra urban, dan bila ada siapakah pelakunya?

Dimanakah kitab hidup ragam hikayat: oral (kelisanan), mantra, petatah-petitih, atau pantun-pantun lama itu berdiam? Tentulah sastra jawabannya, tulisan-tulisan yang sarat dengan berbagai perihal kehidupan manusia, dan tentu pula ini tertuang indah lewat bahasa dengan pilihan kata yang mampu memaknai ‘makna’. Bukan hal-hal elementer atau reportase biasa!

Kandungan yang dimiliki oleh karya-cipta sastra memang tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Bagaiman semua itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan menjadi satu kesatuan yang bertujuan mengisi rohani pembaca untuk lebih terang memandang hidup dan masa depan yang gemilang.

Untuk hal semacam ini tentu perlu adanya kepekaan yang harus dimiliki oleh sastrawan. Kekayaan pengalaman referensial dan factual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang dikandungnya. Asumsi ini bukanlah hal yang mengada-ada, apalagi ditambah dengan adanya dialektika budaya yang mematangkan kehidupannya. Tentu karya yang dia ciptakan bakal lebih memiliki kekuatan dan universal.

Berpijak pada pendapat di atas, landasan tumpu tentang sastra urban dapat dikaji: berawal dari perjalanan hidupnya yang melingkupi latar belakang famili, budaya dan intelektualnya. Perjalanan empiric yang dia alami akan amat menentukan. Dan ini juga akan membaur dengan kekuatan dan kristalisasi persoalan dengan beragam titik pandang yang digabungnya. Maka, sampailah kata, Sastra Indonesia: Sampiran tanpa Isi, Frase Tanya tak Berjawab. (Irman Syah: Seniman Asong) 

Share:
spacer

3 comments:

  1. Haloo, Bang
    Ikonyo Blog abang tu...
    Hehehehe, lumayan lah kan? Yang penting Irmansyah kembali ke dunia persilatan.
    Tapi, sayang pusisinyo alun ado lai
    Mungkin sedang diketik Wendi...
    Slamat berbloging ria
    Puisi...
    Puisi...
    Puisi...

    ReplyDelete
  2. Salam,
    Dah merambah-rambah, bertambah pula, semoga...
    Koko

    ReplyDelete
  3. Oke, De..
    Tengkiu,
    meski sekedar, mudah2an 'kadar'ada
    di dalam-Nya

    Koko:
    perambahan tentu akan lebih
    menyamankan tanaman yang akan
    ditumbuhkan..
    tentu saja sesuai ph tanahnya
    juga.

    salam
    Jabat-erat!

    ReplyDelete

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI