Gedung Joang '45

Cermin Negeri Para Bangsa


Oleh Irman Syah

Zamrut Khatulistiwa, sebuah mata rantai kehidupan yang indah dan kaya. Keindahan yang tiada tara yang memang diakui dunia. Inilah negeri kita, inilah nusantara. Ungkapan ini pulalah yang membuat negeri ini menjadi incaran kolonial dari dahulu kala hingga kini. Penjajahan demi penjajahan dalam berbagai rupa dan bentuknya akan selalu dialami negeri ini jika ungkapan itu hanya cuma pemanis kata tetapi rasa tidak lagi pernah dimiliki bangsanya.

Kalaulah nilai dari mata rantai yang indah dan mahal itu dikalungkan menjadi sebuah kenyataan dan hiasan persatuan maka negeri ini pastilah akan aman, tentram dan sejahtera. Masyarakatnya akan mampu hidup layak. Kalaulah nilainya tidak disatukan atau hiasannya tidak dikalungkan sebagaimana mestinya, yang terjadi tentulah sebaliknya. Masyarakatnya akan susah, menjadi  tidak aman, morat-marit, sengsara dan nantinya cuma akan bisa layak hidup.

Hidup layak tentu jauh beda dengan layak hidup: di dalamnya terkandung jarak dan perbedaan yang mendasar seperti bumi dan langit, api dan asap, hitam dan putih, dan lain sebagainya. Dalam sebuah pandangan dialektika tentulah ini akan terlihat sebagai tesa dan antitesa. Penggabungan dan pertemuan keduanyalah yang amat penting untuk diujudkan secara nyata. Bagaimana mendapatkan sintesa dari kedua kutub itu. Di mana muara sesungguhnya, yang tepat atas pertemuannya?

Ini hanyalah sekedar pengandaian, pengandaian yang perlu ditelusuri lagi secara nyata. Kalau sintesanya tidak ditemukan, artinya bangsa ini sudah dapat dipastikan malas berpikir. Budaya bangsa sudah berubah begitu saja menjadi pengikut. Padahal, tokoh-tokoh bangsa negeri ini lewat perjuangannya telah berusaha merumuskan sikap hidup dan tatacara serta nilai-nilai yang dimiliki dalam membangun negeri ini. Gedung Juang 45 adalah symbol dan jejak dari usaha keras mereka.

Kemerdekaan jangan hanya dimaknai dengan kata 45, tapi proses menjelang kemerdekaan itulah sesungguhnya yang perlu dikabarkan dengan segalaseluk-beluknya yang real.

Dengan demikian, sejarah menjadi lurus dan bermakna, kenyataan sikap dan kesantunan bahasa akan muncul ke permukaan bagi pejabat negeri, baik dari tingkat tertinggi sampai ke pejabat tingkat bawah. Pejabat itu mesti barangkat dari kata ‘jabat’, yakni tokoh yang dipercaya oleh rakyat untuk menerima akhiran ‘an’: ‘jabatan’. Laksana bersalaman, pertemuan dua tangan kanan yang bersentuhan secara tulus, pemberian ‘rasa percaya’, ‘serah terima’ secara ikhlas tentang rasa percaya yang diberikan rakyat kepadanya.

Bukan berarti pejabat itu cuma bermakna kuasa dengan makna yang salah dan akhirnya berdampak menyusahkan rakyatnya. Tidak! Ini dia. Persoalan bahasa ini sesungguhnya. Dalam kenyataannya, hal ini akan menjadi simpang siur pengertiannya. Persoalan bahasa semacam ini, bila disigi secara symbolik akan ketemu dalam petuah-petuah, ungkapan-ungkapan pujangga, petatah-petitih dalam adat dan kebiasaan budaya masyarakat yang telah matisuri dibunuh modernitas dan kemudian dilajutkan oleh penjajahan komunikasi.

Bagaimana lagi? Tak lain caranya adalah memaknai bangsa melalui bahasa. Menyiasati kembali bahasa yang telah tercerabut dari akarnya, terbuang dari pekertinya, dan tersisihkan dari budinya lewat peninggalan sejarah berupa Gedung Juan 45. Di sinilah ‘spirit patriotik’ bersemayam dengan nilai kebudayaan yang terkandung di dalamnya. Di sanalah rasa, hati yang damai selalu  selam-menyelam.

Melalui Gedung Juang 45, kelihatanlah negeri yang mulai kehilangan bangsa: lupa pada benang pengikatnya, mutiara pada kalungnya mulai tercerai berai dan ini tentu perlu diselamatkan. Bahasa itu menunjukkan bangsa, inilah pangkal awalnya. Sebuah ungkapan menyatakan: kebangsawanan seseorang itu akan terlihat dari bahasanya. Jadi, bahasa yang telah lupa menjadi benang yang menjalin butir-butir permata mutu manikam nusantara itu kini menjadi tanggung jawab bersama baik pemerintah atau pun masyarakatnya yang beragam etnik. Gedung Juang 45 mestinya menjadi sentral aktivitas generasi muda dalam memelihara kebudayaan bangsa.

Tambun, 3 Maret 2017  

                                                                                                                        
Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI