Oleh
Irman Syah
Apa yang bisa kau rangkai jika
kilat dan petir sambung menyambung. Terang dan dentuman ganti berganti, muram
dan gelap muncul di hati. Apa? Tentu saja tak ada selain kata. Selebihnya rasa
dan pikir yang saling bersabung dan bertarung, bagai pelayaran dan lautan
lepas, asin dan ombak tetap saja permainan ikan.
Rangkaian kata yang gulung
gemulung, kadang mendung tak memunculkan hujan, kadang indah tapi tak bermakna.
Semua permainan kira-kira. Lenyap tanpa kata. Dalam gelap cahaya nyata, dalam
nyata ketiadaan merupa. Semua bergerak begitu saja, bagai dilahap rahasia.
Begitulah musim dan siklusnya,
seperti burung-burung raksasa yang mengangkasa, berputar ia di cakrawala,
melahap hutan, memamah laut, mencium gunung dan melahap bukit.
Peristiwa-peristiwa menerjemahkannya. Longsor, tsunami, banjir, dan kemudian
menjadi hal yang biasa-biasa saja, hanya perhelatan dan efforia.
Apa yang mungkin terbaca dari
kata bila kenyataan hanyalah keterangan pura-pura. Senang melihat orang susah
dan susah melihat orang senang telah menggejala. Ini musim apa, bilangan tahun
ke berapa dan bagaimana. Siapa yang mampu mengungkapnya: menjadikan kata atau
pun rupa, bak mahkota dalam budi-bahasa?
Ini musim ganjil, katamu. Ah,
itu sebuah ungkapan tak berguna. Tanpa ganjil, genap pun takkan pernah ada.
Makanya, jangan memvonis tanpa tahu perkara. Keanehan semacam ini sudah biasa
di negeri kita. Kalau cuma itu apa artinya, coba munculkan yang luar
biasa. Bersahajalah, untuk apa pula kau menyiksa saudara kalau toh dirimu
sendiri tak pula bahagia.
Sekelumit, dialog seperti itu
bisa saja bermunculan dalam jiwa. Kadang timbul-tenggelam begitu saja
ketika pikiran tertumbuk panorama. Pemandangan itu sungguh tak indah, hanya
jurang, bukit yang batu terjal, palingan biru laut dan langit membungkusnya.
Lalu apa? Ya! itu pertanyaan. Sesungguhnya itulah yang sedari tadi kupikirkan.
Malah sampai kini, aku pun belum mempunyai kata ungkapan.
Begitu banyak rangkuman keluhan,
begitu banyak protes dan larangan sehingga bernapas pun kita tak lagi sempat
dengan nyaman. Sebongkah hati yang kecil ini makin tak mampu menampung sebegitu
besar persoalan yang dimunculkan. Negeri ini kian terbata dalam mengeja nilai
bangsa: aku dan kamu kian terpana dalam muslihat dan tipu daya.
Itu kan pandangan? Iya, kelihatannya
memang telah begitu. Antara ‘pandang’ dan ‘lihat’ itu membetanglah jurang di
‘nilai’ makna, dan bisa dipastikan bahwa pandangan dan penglihatan itulah
persoalan yang sesungguhnya. Ragam kelompok yang mengemuka. Semjua berbahasa
bunga-bunga. Maka, jangan ditelan begitu saja, ketepatan makna takkan pernah
bisa ditukar-tambah, dijual-beli atau (apalagi) didicount-kan.
Ketika musim berbilang tahun,
perjalanan negeri ini tak banyak yang mampu kau simpulkan. Aku pun tak jauh
beda, kalau pun ada terbentur lagi oleh cara dan bagaimana memasangkan. Bicara
begini dan begitu akan tetap dianggap si ini dan si itu. Sementara
koordinat-koordinatnya juga belum tentu jitu.
Yah, pengalaman terus saja
menjalar tapi hidup dan sejarah kehidupan tetap saja diputar-balikkan
kepentingan. Apa yang bisa kau katatan pada mereka yang akan lahir kemudian:
apakah bisa cuma dengan nota dan catatan, atau jumlah, kurang, kali, dan bagi
dalam perhitungan.
Musim kian merambat, tahun kian
mendekat. Baru dan lama saling berjabat, entah apa yang dia titipkan. Warisan
dan petuah apa yang diturunkan. Barangkali ini hanya kado tahun baru yang
istimewa bagi siapa saja yang merasa.**
RoKe’S, 26 Desember 2014
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI