Oleh Irman Syah
Jangankan sumpah, kutuk pun sering datang dengan tiba-tiba,
terlontar begitu saja dari mulut-mulut yang menganga karena lapar yang menjadi.
Apalagi melihat dan menatap kenyataan
negeri yang kian hari kian remuk bagai kerupuk: tak jelas lagi mana yang benar
mana yang salah, mana yang patut mana yang mungkin, mana yang tepat dan mana
yang bukan. Semua membaur dalam gerutu
yang berkepanjangan. Mata tak pernah lagi melihat yang indah, hati tak lagi
merasakan yang nyaman, keperihan pun tiba membabi-buta.
Entah apalah ini namanya. Mungkin semua kata dan ungkapan
telah menjadi sepah yang memang sepantasnya wajib dibuang. Bukankah semua itu
hanya akan menyisakan persoalan baru yang nantinya akan saling memojokkan.
Sementara, mereka yang diperbincangkan tetap saja dengan senaknya bercanda
dengan keluarganya sambil menikmati hasil korupsi yang tidak akan
habis-habisnya sepajang masa. Demikian banyak masyarakat yang jadi terlena dan
kemudian fasih menceritakan apa saja tentang ragam persoalan negeri: mulai dari
persoalan sepele sampai pada persoalan puncaknya, yakni tentang korupsi. Gelas
kopi yang masih hutang di meja itu pun tandas begitu saja: sore pun akhirnya
menyambut hampa tanpa ada satu pun yang telah dikerjakan, sementara di rumah
tak ada pula yang bisa dimakan oleh keluarga. Kasihan.
Sumpah yang lakasana sampah yang menyerapah itu sesungguhnya
tidak akan pernah bisa dirumuskan dengan segenap kepastian: yang ada cuman
perkiraan, yang ada cuman tafsiran sekedar kalimat semena-mena saja tentang
keadaan. Kabar yang menjalar dari ragam media pun semakin mengajarkan mereka
karena sebagian besar memang sepertinya memancing dan berusaha untuk
membangkitkan rasa sakit hati: menumbuhkan benci yang sedemikian rupa tanpa ada
sedikit pun usaha untuk membangun solusi: setidaknya mampu membuat tenang rasa
di jiwa. Akhirnya, kenyataan dan kehidupan pun menjalar tanpa arah serta tujuan
yang jelas. Kepentingan personal semakin meraja. Ego yang bertumbuhan kian
mengajarkan bagaimana hidup saling silang untuk membunuh kawan seiring dan malah
saudara sendiri: menjadikan diri sendiri yang paling OK, dan yang lain KO.
Huff!
Kenyataan hidup semacam ini seakan menumbuhkan keasingan saja
bagi diri yang sadar akan pentingnya keadilan, kebersamaan dan kedamaian bagi
rakyat ketika mesti berhadapan dengan arus informasi yang diunggah dalam
berbagai bentuk gejala dan format informasinya. Beragam peristiwa, kenyataan
dan iklan pun telah dijadikan bahan yang begitu lahap untuk diperjual-belikan
sekenanya bagi siapa saja. Dan pemuda? Ya, pemuda yang sangat diharapkan untuk
mampu menelorkan pikirannya dalam segala sisi kehidupan negeri ini pun juga seakan
terbawa arus dalam abrasi samudera permaianan (games) dunia kenyataan yang
semakin khusyuk dan membiuskan. Seperti mimpi saja rasanya kalau pernah ada
Sumpah Pemuda yang diagungkan itu. Ya, sebuah keagungan yang dimenara-gadingkan
tanpa ada kelanjutan atas sikap hidup manusianya dalam menghadapi masadepan
kehidupan yang tak tertafsirkan.
Akhirnya, tak satu pun lagi yang bisa dipertahankan dalam
sikap dan tingkah laku keseharian hidup manusia Indonesia untuk kembali mampu
membangun kekersamaan. Semua bergerak tanpa diduga, kecuali dengan kesiagaan
yang mesti tinggi serta sikap kritis yang semestinya lebih matang dalam berpola-pikir dan
bertindak serta merasakan bagaimana kecintaan kepada negeri ini untuk selayaknya
diambil peduli. Kalau tidak, tentu akan terciptalah pepatah lama yang hidup
ratusan tahun di negeri ini: jalan diambil-alih orang lalu, ukuran diganti para
pedagang. Andai ini terus terjadi, jelas tidak semua kita bisa menerima.
Untuk itu sudah sepantasnya diwajibkan bagi masyarakat negeri
ini terutama pemudanya untuk kembali merebut dan kemudian menata kebutuhan
hidup yang layak bagi rakyatnya sesuai dengan akar yang menumbuhkan lewat keasaman tanah bumi
pertiwi: karena memang sumpah serapah yang hari ini begitu banyaknya dan marak itu tidak cuma sekedar menjadi kata-kata, tapi pembuktian dan membangun solusi yang
semestinya untuk dijalankan dengan cita-rasa negeri yang memang memiliki nilai-nilai
budaya dan tradisinya yang agung.
Rokes, 18 Oktober 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI