Oleh Irman
Syah
Pada sebuah kurun yang lama kehidupan masadepan manusia telah
dibaca. Para pendahulu kita melalui bahasa yang mencerminkan kebiasaan adat dan
budaya ternyata dengan telah sesungguhnya mengaca: melihat diri dari pecahannya yang terberai
oleh perkembangan kemajuan arus massa yang amat mengelora. Ketajaman rasa dan
pandangan itu seakan telah tercerna di ruang batin mereka begitu saja. Maka
terucaplah saja kata dengan ungkapannya, “Jalan
dialiah urang lalu, Cupak dialiah urang panggaleh”, ya (Ina) ”Jalan dialih
orang yang lalu, ukuran diganti oleh pedagang.”
Bahasa, memanglah sebuah cermin yang tak pernah salah dalam
mengungkapkan kenyataan yang bergerak di depannya, terpajang dan terpampang
melalui makna dan kandungan simbol-simbolnya. Karenanya, amat diperlukanlah
pemahaman yang sempurna bagi manusia untuk tetap berpegang teguh pada hakikat
serta pilihan akan kepatutan sikap yang semestinya. Detak hati yang selalu
bertiang pada keyakinan jangan sampai ditinggalkan.
Pemeliharaan akan keutuhan pandangan dan sikap adalah sesuatu
yang wajib dipertahankan meski ribuan halangan selalu menghadang dan datang
melalui pintu keinginan yang diakibatkan oleh deru perubahan yang juga begitu
menggoda. Demikianlah, kehidupan dan kesenangan, atau kepraktisan, serta kesetiaan
akan kebemalasan, atau bisa pula efesiensi
waktu yang mengajarkan jarak untuk bersilaturrahmi, baik antar sesame, keluarga,
sahabat dan karib-kerabat jadi terbuka ternyata telah membangun ngarai dengan
jurang yang menganga dalam membahasakan perpisahan.
Begitu pula teknologi komunikasi yang mengajarkan kemajuan,
tapi di sisi lain tanpa disadari sesungguhnya adalah kesenangan yang mengajarkan
jarak dan perpisahan: menularkan ribuan perceraian untuk pada akhirnya
mencintai benda-benda yang berupa kotak-kotak ajaib yang menjauhkan makna hubungan
antara manusia, ibu dan anak, suami dan istri, nenek, cucu, kakek serta anak kemenakan
dan garis keturunannya. Kesendirian, kepopularan, keegoan personal semakin
meraja dan tanpa disadari banjir pasar telah mengairi jiwa masyarakat dan kemudian
mengalirkannya ke batas-batas yang tak terjangkau lagi bagi hakikat harapan dan
impian kehidupan atas keanugerahan.
Hal semacam ini tetaplah pula bermula dari bahasa. Kebiasaan
meninggalkan bahasa diri, adat dan budaya telah membuat orang lain di negeri
asing menukar selera kita dengan hadiah keasinan melalui kelemah-lembutan tipu
daya yang menyenangkan. Akhirnya masyarakat Nusantara telah begitu saja lupa
akan nilai budi pekerti atas kebangsaan dan melupakan kepulangan. Pada titik
ini Bahasa Indonesia menjadi porak poranda. Komunikasi meninggalkan norma dan
nilai serta ukuran kepatutan.
Penjajahan bahasa telah membuat manusia Indoesia mejadi
yatim-piatu: kehilangan orang tua, yakni ‘bahasa’ dan ‘bangsa’-nya. Mereka
telah mengubah budi pekerti dengan tipu daya lewat permainan dan kesenangan
sesaat dan nyata-nyata telah membunuh ‘rasa’ sebagai patokan dan titik tolak
intisari makna yang digadaikan oleh pedagang beserta orang yang berlalu-lalang.
Dan ‘Citra’ dari bahasa yang dimiliki bangsa pun akhirnya
hanyalah modal ‘kekosongan’ yang diungkapkan oleh personal dan pasangannya
untuk memajukan diri sebagai pemimpin dalam pemilihan Kpepala Desa, Lurah, Kepala
Daerah hingga Kepala Negara. Padahal ‘kata’ Citra itu sendiri sesungguhnya adalah
‘akronim’ saja dari dua kata yang berdekapan yakni ‘cita’ dan ‘rasa’. Akhirnya kita
tersimpuh di ruang yang pasi karena memang kehilangan keindahan cinta tersebab
lidah-bahasa yang terjajah.**
Bumi Kalamtara, 28 Februari 2013
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI