Oleh Irman
Syah
Suara? Wah, ragam bunyi membangun makna! Itulah kata yang siap untuk menjadi sesuatu yang mampu mewacanakan kenyataan kepada dunia. Andai diungkapkan dengan sepenuh hati, kesungguhan jiwa dan keinginan penuh dalam ketulusan perdamaian pastilah akan ada fungsinya. Andai tidak, artinya akan berbalik kepada pangkalnya.
Percaturan kehidupan akan menjadi lebih ramai lagi dibincangkan.
Rakyat kembali berhadapan pada perpecah-belahan pandangan. Inilah kesempatan baru
bagi dunia luar untuk mempromosikan kedamaian dalam keagungan ekonomi melalui
teknologi. Nah, siapa yang takkan menerima, rakyat yang dihimpit kesusahan
pastilah akan tergoda.
Bagaimana lagi, dan pertanyaan semacam ini akan ketemu
jaringan laba-laba yang begitu besar. Apalah yang akan bisa disuarakan oleh
rakyat untuk membangun kepastian. Pernah ada ungkapan, “Suara Rakyat, Suara
Tuhan..”. Rakyat yang manakah?
Jadi banyak hal yang perlu diluruskan. Dengan kata lain,
terlalu banyak kenyataan yang bengkok ternyata. Hal ini terjadi merata dalam
perjalanan kehidupan kebangsaan Indonesia. Semua terlihat dari catatan-catatan
kelam perjalanan perjuangan kebangsaan. Hal semacam ini tidak tertuliskan
dengan kejujuran dan termasuk pengutukan bangsa oleh bangsa sendiri. Anehnya,
partai-partai tetap bertumbuhan bagai cendawan di musim hujan.
Jadinya, terlalu rumit untuk meneruskan pikiran semacam ini.
Begitu jauh simpul yang diinginkan demi kepentingan harapan yang begitu agung.
Impian yang tak berkesudahan selama hayat. Tapi ini pun sulit pula untuk
dilanjutkan: keraguan judi memekarkan rasa pesimis, dan ini tidak baik untuk
diwariskan.
Begini saja, yang paling penting itu tentulah semangat.
Spirit! Bukankah dari sini akan lahir kesucian hati, keterangan yang mampu
menjelaskan, “siang bak hari, dan terang bak bulan”. Hitam dan putih, gelap dan
terang, salah dan batil. Peperangan akan menjadi sah bila sampai pada hakikat
ini. Anehnya, budaya perang pun sudah diputar-balikkan. Akhirnya, perang pun
disalah-gunakan.
Rakyat adalah keagungan sebuah kekuasaan. Bukankah tanpa
rakyat pemerintahan takkan pernah ada. Kembalilah, pulanglah.. Pulangkan rakyat
kepada rakyat. Kembalikan suaranya pada kejujuran kata. Dalam sebuah tafsiran,
hendaknya kenikmatan dijadikan ujung do’a. Nikmat karunia Tuhan yang manakah
yang kau dustakan? Demokrasi bersuara rakyat, tapi rakyat menyuarakan apa? Wallahu alam..
RoKe’S, 26 Desember
2012
No comments:
Post a Comment
SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI