Sengaja judul ini dipilih untuk mengingatkan asal-usul dan
hakikat yang tengah bergerak dalam lingkaran kehidupan. Begitu banyak jalan dan
jalur hidup yang tanpa disengaja telah berlaku begitu saja karena tidak
disiasati sebelumnya dalam kesengajaan kenyataan diri oleh manusianyanya. Begitulah,
waktu berjalan dengan kesengajaan matahari dan bulan yang tak pernah lelah
menerangi kehidupan di bumi tercinta.
Di sebuah negeri, yang dulu katanya damai, kaya dan sejahtera
telah berubah jadi pasar besar yang selalu mengajarkan masyarakatnya untuk
membeli dan bukan menghasilkan: kunsumtif, dan bukan produktif. Semua bergerak
saling mendahului untuk mengatakan pada dunia bahwa dialah orang kaya dan mampu
memiliki apasaja. Artinya, cara pandang telah begitu saja berubah tanpa di
sadari sebelumnya.
Jaringan-jaringan, akun-akun, telah mengubahah bahasa tanpa
terasa luka. Tidak ada lagi kata mendaki, kata menurun dan kata ‘melereng’:
semua jadi teman, kawan atau sahabat. Bapak, Kakek, Abang dan Nenek akan
terikat pertemanan dengan anak, kemenakan, adik dan cucunya. Bergeraklah terus
arus itu, membah ke mana saja. Personal, individual jadi mengemuka. Kekayaan
kebersamaan mulai terguris oleh arus yang datang tanpa persiapan terlebih
dahulu.
Di dada negeri, taman-taman kesepian. Tak ada lagi canda
tawa, tegur sapa, atau sekedar melepaskan lelah dari keseharian kerja. Begitu
sunyi taman terbentang, suram dan tak terpelihara. Terkadang fungsinya jadi
berubah, tempat para brandalan berteduh sambil melihat mangsa yang lewat,
padahal bangsa sendiri. Jadinya, kesunyian taman berubah stigma ‘rawan’ yang
mengerikan. Ada rasa takut ketika melintas ke sana, karena memang tidak ada kontrol
dan niat untuk memeliharanya.
Bagi mereka yang telah mengumpulkan harta dan merasa memiliki
segala, mereka memasuki goa-goa batu, bercengkrama, mencongkel kulkas,
mengeluarkan minuman bermerk dari luar negeri. Setelah itu mereka kembali ke
rutinitas mengunjungi goa yang baru, tempat bekerja untuk menyusun strategi
bersama lewat kepentingan golongan dan kelompok tapi selalu mengatas-namakan
masyarakat rakyat. Begitulah, Sishipus itu menggulung kehidupan dan
menjatuhkannya lagi ke pinggang kesengsaraan masyarakatnya.
Negeri, Taman yang sunyi dan Goa-goa batu itu adalah
kenyataan yang membangun jarak: keterpisahan, atau jurang pemisah bangsa-bangsa
dengan masyarakatnya. Andaikan ini berlangsung tanpa adanya upaya pemikiran dan
rasa serta budi pekerti yang merajutnya menjadi kata untuk kemudian menyirami
jiwa-jiwa kering tanpa nurani niscaya negeri ini akan berubah menjadi robot raksasa yang
menjadikan masyarakatnya keong-keong yang beragam. Lelet, lamban, dan tak punya
kecepatan untuk berbuat dan memelihara diri dari keselamatan hidupnya. Membawa
rumah ke mana saja. Terbirit-birit dalam gelapnya sakwasangka. Jangan-jangan
telah meninggalkan negerinya sendiri. ***
goa goa akan tetap menjadi goa goa
ReplyDeletetembokan bahasa beradu seperti antan dan alu
rapalan hari menuju akhir masa menanti diujung jalan sana
oh situan angkara murka....
jadikan goa goa bagaikan neraka....
surga menjadi fana....
rakyat menjadi papa....
karna kami tak pernah tau arti rasa disurga....
YUP!
ReplyDeletesemua berkelana menuju entah..
menungguh reruntuhan batu yang bakal menghimpit
atas rasa periksa yang dikhianati
sepanjang zaman..
salam