Berkubur


Tanpa lonceng aku telah mempersiapkan saja cangkul
untuk mengubur diri sendiri di rimba kesunyian
Mulut tanah perbukitan itu menganga dan bersuara
“hai lelaki, pejamkan mata!”
Angin mendesirkan lalang, burung murai menajamkan
kicau dan aku berangkat ke jurang diri sendiri
Memproklamirkan kesepian tanpa henti

Berkubur sendiri jauh beda dengan dikubur
Getar nuranilah yang mampu menerjemahkan perih
menangkap kearifan di bibir jurang jiwa
“hai, terjunkah sebelum sore kautunaskan!”
Batu-batu runcing menggigil dan pasir seakan teriak 
di telapak kaki

Untuk berkubur aku tak sanggup menutup mata
dan terjun sebelum memproklamirkan diri
sebagai pembangkang: sayat kicau murai, desir angin
dan suara pasir selalu saja sindir-menyindir bau
kematian yang kukemas, beribu suara menuding
dari dalam memporak-porandakan dinding-dinding dada
“lari ke mana kau lelaki?” kejar suara
Ada juga suara gaduh yang pukul memukul dinding hati
Kadang bagai dentuman tiga-tiga yang menyayup
mengantar perjalanan ke diri sendiri

Aku berkubur sendiri tanpa siapa pun dalam diri dan tak
seorang pun boleh membaringkan ocehannya di sini
Tanpa lonceng, aku telah berkubur di kampung kecil
Aliran sungai kesejukan nurani meresapkan api ke jantung
Bakar-membakar jiwa, dalam kubur diri, aku berteriak
sejadi-jadinya: ucapkan terimakasih dan cinta
kepada siapa saja bukan ke diri sendiri
Ucapkan sakit hati dan dendam kepada siapa saja
terlebih ke diri sendiri!

Aku berkubur dengan susah paya menciptakan kubur
aku berkubur untuk memudahkan orang lain berkubur
pada dirinya, aku berkubur untuk menentang orang lain
membuat kubur dan memasukkan siapa saja ke dalamnya


(Dimuat Republika, 9 November 2007)
Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI