Dari 2 LEGENDA


Cerita Pendek (Pendek):

Di dalam Tambo, di puisi yang panjang itu telahtercecer darah revolusi,
alirannya mendeklarasikan monumen Malin Kundang dalam dada kehidupan:
langit cerah dan awan yang berarak petang membingkiskan cerita lama --
cerita yang takkan habis-habisnya dikemas dan diperbaharui,
hingga negeri kian berseri dalam terjemahan yang tak kunjung usai.
Maka tersebutlah: ANAK DURHAKA!


Padahal, ia sendiri juga tak rela  melihat ibunda terlempar jadi janda:
penuh gairah dan perkasa, yang menenteng anaknya ke hutan-rimba
menjemba apa yang dapat dijemba dengan diri yang kesepian
akan pagutan lelaki yang berlayar ke alam baka…
Perih derita Ibunda kian membangun nestapa, apalagi kesunyian rongga
lumut dan ijuk berebut tumbuh di embun jatuh: apalagi tentang lelaki.
Maka kelengkapan keperempuanannya tertepis sudah dengan aliran susu
yang meneteki buah hatinya, sehingga tinggal sebatang kara

Airkehidupan itulah yang mengajarkannya bertualang tentang peta
perantauan dan persinggahan: memungut pergumulan hidup dari kesepian,
dan dermaga mengajarkannya paham tentang wanita.
Ketagihan dan keriaan melaju selalu, menjelang pulau di biru lautan
semakin menumpukkan tualang panjangnya jadi bertuah di laut sakti
dan direngkuhnyalah rantau-rantau kehidupan jauh

Di dalam Tambo, di takdir yang jalang itu meneteslah duka masalau
lelaki, yang tak kering dirajut masa bagai sulaman renda biru-muda
di dada tuanya -- sementara kepergian lelaki kedua dalam hidupnya
menjadi ornamen ruang mata yang tak habis-habisnya: sang Anak
melayari darah Bapaknya mengarungi lautancinta di asinnya airmata

Dihadangnya laut, begitu harmoni bunyi dan debur, angin berkesiur
dan ikan-ikan meloncati dinding kapal, terbang dan lintas-melintas
sebatas mata nyeruaki angan-angan, gunung, ngarai, lembah,
dan sungai: menghadirkan semerbak kuntum dermaga, bagai mawar
di embun pagi, rindu dicium hausnya sukma

Tak disangka pelayaran sampai ke pangkal-mula: Air Manis terjelang pula.
Meski sekian muara dan dermaga tersinggahi: ricik air mengalir
ke rongga-rongga kenikmatan, menelusuri kelok dan lekuk dalam nafas
memaknai jalinan hati yang sunyi ngeri..

Kilat memancar, aroma masalalu kembali terasa di depan mata
lengkingan tangis perempuan tua mengoyak perih!
Masalalu disedunya: “taka ada laki-laki di negteri ini. semua membuang
kelopak perempuan!”

Di dalam tambo, di puisi yang menjulur itu, rahim menyesali kelahiran
darah revolusi menyibak ke bawah pusar keabadian yang tindih-menindih
memaknai kepergian dan perpisahan, menggenanglah kejadian
timpa-bertimpa menghadang mata: lelaki kedua yang turun dari kapal
seakan berubah rupa bagai lelaki pertama saja di depan mata,
bagai songsongan masalalu di pantai ini juga, mungkin tersebab haus
yang teramat dahaga karena begitu lama hidup dengan kemudaan  kesendirian,
keriput dan lisut terus menikam tubuh:
 berjemur kenangan sepanjang impian

Perantauan bukanlah jawaban!
Tak mungkin, tak masuk akal, rumit, perih, ah.. amoral!
Batinnya berteriak-tolak, tapi cekam yang menyambutnya
tubuhnya menggelepar liar:
“aku bukan Sangkuriang..!”
Teriakan menghempas pantai, menggema ke batu-batu, tikam-menikam
pilu-ngilu dan kemudian menghempas lagi ke pasir pantai..

:tapi manusia selalu mengutuknya dalam lagu, dalam kaba, dalam cerita,
dan dalam pelajaran tingkah laku, moral, akhlak, dan basa-basi anak bangsa
yang tak pernah terselesaikankan sepanjang zaman…
Menteng31: 20 Feberuari 2003
Share:
spacer

No comments:

Post a Comment

SILAHKAN TINGGALkAN TANGGAPAN DI SINI